Selasa, 27 Mei 2008

Menjadi Orang Lain

Pernah berpikir menjadi orang lain?
Bila iya, menyesallah, kecuali hal itu memotivasi untuk menjadi lebih baik. Karena selain hal itu (memotivasi diri) bisa berarti rasa iri dan sejenisnya yang hanya akan membawa kita menuju The Dark Side of the Force. Artinya kita tidak akan bisa menjadi Jedi.
Sepertinya cukup berguna juga menyaksikan star wars enam episode sekaligus. Tapi ini benar. Sedikit saja perasaan negatif akan mendorong kita untuk berbuat negatif. Rasa iri bisa berlanjut menjadi dengki, dan entah seperti apa ujungnya. Mungkin tak berujung.
Pernah kalian berkata “Wah, orang ini perfect banget. Seandainya gw adalah dia.” ? selain perasaan iri, juga timbul rasa putus asa seolah enggan melanjutkan hidup sebelum bisa memiliki atau melakukan apa yang orang itu bisa. Perkataan “If I were somebody” dan sejenisnya pasti pernah hadir di setiap hati manusia.
Gw punya cerita tentang dua siswa yang saling bersahabat. Siswa yang pertama adalah siswa yang sangat populer dan punya perempuan yang sangat lovable. Siswa kedua adalah siswa kutu buku yang sangat cerdas. Di awal tahun pelajaran, siswa kedua berkata pada siswa yang pertama “Seandainya gw adalah loe. Loe punya banyak temen, cewek yang astaga cantiknya, dan populer pula. Sedangkan gw, sudah tujuh belas tahun ngejomblo.” Tapi, menjelang akhir tahun pelajaran siswa pertama berkata pada siswa yang kedua “Seandainya gw adalah loe, maka gw ngga akan takut Ujian Nasional seperti sekarang ini.”
Apa kesimpulan cerita di atas? Setiap orang punya keistimewaan. Tidak ada yang memiliki semuanya, dan juga tidak ada yang tidak punya apapun. Ketahuilah, kita tercipta dengan sempurna dalam keadaan sebaik-baiknya sesuai dengan kehidupan dan takdir yang akan kita hadapi. Bila ingin mengubahnya, lakukanlah dengan cara yang benar. Hanya kita yang bisa menentukan takdir kita sendiri dan untuk tidak menyerah pada garis hidup yang seolah harus dilalui. Apapun bisa berubah.
Jika sekali lagi tergaun kata-kata “If I were somebody”, katakanlah “Thank God you made me like this.”

Kenaikah Harga Bahan Bakar Minyak

Akhirnya harga minyak naik lagi. Sudah lama sekali gw menantikan hal ini. Dan seharusnya semua orang demikian.
Kita lihat dulu dari aspek non sains. Harga minya mentah dunia terakhir sebelum gw membuat halaman ini adalah 135 US dollar per barrel. Katakan saja kurs dollar sama dengan Rp. 9.300, maka harga satu drum minyak sama dengan Rp. 1.255.500. Satu barel sama dengan 117 liter. Berarti harga satu liter minyak mentah sama dengan Rp. 10.730. Itu baru minyak mentahnya, dan belum diolah. Premium harga dunia saja seharusnya Rp 14.000 per liter. Di Skandinavia harganya sudah Rp. 29.000 lebih.
Sudah kebayang mahalnya? Pemerintah Indonesia lebih merasakannya lagi. Negara bukan hanya seorang anak kecil yang hidup dengan APBN sebagai uang sakunya, meski bisa dianalogikan dengan cara seperti itu. Bayangkan seorang anak kecil yang kesal karena harga permen naik hampir dua kali lipat, sehingga ia harus menahan diri untuk tidak makan permen sesering biasanya. Bahkan ia harus berhutang pada anak lainnya yang lebih kaya untuk mengkonsumsi permen seperti biasanya. Bila ia tidak berhutang, ia harus mengorbankan biaya sekolah dan biaya makannya untuk membeli permen itu, sehingga ia akan jatuh sakit dan menjadi bodoh. Seandainya ia mengurangi konsumsi permennya, bukan tidak mungkin hutang bisa dihindari dan sekolah dan gizinya tercukupi sehingga secara finansial, mental, dan fisik ia sehat.
Indonesia bisa demikian, kuat perekonomiannya, sehat dan cerdas bangsanya, bila rakyat Indonesia mengurangi konsumsi minyaknya. Dan salah satu cara mengurangi konsumsi minyak adalah dengan menaikkan harga.
Jika dilihat lebih jauh, sebenarnya apa yang menyebabkan harga minyak naik? Menurut hukum ekonomi sistem ekonomi liberal, harga barang naik karena suplai berkurang dan/atau permintaan bertambah, tidak peduli meski ada penurunan biaya produksi. Salahkan negara-negara kapitalis!
Lalu apa penyebab suplai turun? Itu dikarenakan berbagai hal, tapi sebagian besar dikarenakan kemelut yang ada di negara-negara eksportir. Irak dulu adalah negara eksportir minyak yang cukup besar, tapi lihat perang sedang terjadi di sana. Dan suplai minyak dari Iran sudah cukup terganggu oleh intervensi Amerika Serikat dalam politik, ekonomi, dan militer negara itu. Begitu pula yang terjadi di Venezuela. Jadi, ketika Amerika Serikat memprotes OPEC untuk meningkatkan produksi minyaknya, mereka tidak melihat dosa mereka sendiri. Lucu, kan? Dan negara-negara anggota OPEC juga diisukan mengancam akan menghentikan suplai minyaknya ke negara-negara barat jika mereka tidak meninggalkan jazirah Arab dan Israel tidak menyiksa bangsa Palestina dan negara-negara tetangga mereka. Bila benar, berapa harga minyak nantinya?
Bila itu benar terjadi, tidak masalah sih bagi Indonesia, karena akan ada suplai berlebih bagi Indonesia. Yang gw permasalahkan adalah warga negara-negara barat nantinya.
Kenapa tidak membuat pasar minyak kedua selain NYME? Kenapa harga minyak harus berdasarkan harga NYME? Mereka tidak mengendalikan produksi dan persediaan minyak dunia. Mereka hanya membuat harga berdasarkan suply dan demand.
Juga ada sebab lain suplai minyak berkurang. Di Inggris Raya beberapa waktu lalu terjadi aksi mogok buruh perusahaan minyak dan sempat mengancam harga minyak juga. Mereka mogok karena menuntut kenaikan gaji karena perusahaan mereka mendapatkan untung besar dari kenaikan harga minyak itu. Dan di Nigeria, rakyat berusaha menguasai aset perusahaan penghasil minyak di negara itu karena keuntungan tidak sampai ke tangan rakyat. Inilah efek liberalisme ekonomi, keuntungan di atas segalanya. Ini juga yang menyebabkan hutan habis ditebangi.
Lalu bagaimana dengan sikap manusianya sendiri? Orang bilang asalkan membayar silahkan pakai. Sekilas itu tidak salah, tapi pikirkan lagi. Itu tidak selamanya benar. Dan juga pikirkan bahwa, karena harga minyak itu murah setiap orang bebas memakainya tanpa memperdulikan bagaimana minyak itu terbentuk, berapa subsidi yang harus dibayar negara, dan apa efeknya terhadap lingkungan. Itu sangat tidak dibenarkan, memakai minyak secara sembarangan, tanpa memikirkan hal-hal tersebut. Syukurlah harga minyak akan naik.
Fakta menyebutkan, sebagian besar pengguna bahan bakar minyak adalah orang yang mampu secara finansial dan mampu membeli bahan bakar minyak untuk hal-hal yang tidak berguna. Kenapa kenaikan harga suatu barang yang cepat habis disulut api, membuang uang negara, dan merusak atmosfer ini membuat orang-orang panik? Apa masalahnya? Orang-orang kaya itu juga tetap kaya, berapapun harga minyaknya. Hanya minyak tanah dan solar yang dipakai sebagian besar rakyat kecil. Premium sebagian besar dipakai oleh orang-orang kaya untuk kendaraan pribadi mereka, tapi merupakan setengah bagian dari minyak yang diproduksi kilang minyak.
Yang membuat gw bingung, kenapa harga sembako ikut naik mengiringi harga minyak? Setahu gw, tanpa menaikkan harga minyak pun harga sembako juga akan naik karena efek suply demand. Tapi keterlaluan banget jika ikut naik dengan alasan harga minyak juga naik.
Secara tidak langsung, penggunaan bahan bakar minyak yang berlebihan juga dapat mengakibatkan kesenjangan sosial. Mengenai aspek sosial ini, tanya sama anak non sains aja ya? Gw ngga ngerti banyak. Yang jelas, gw tahu itu benar.
Dari aspek sainsnya, kenaikan harga bahan bakar minyak adalah anugerah yang tidak terkira. Yang paling utama, ada harapan proses pemanasan global akan sedikit melambat karena konsumsi bahan bakar diharapkan tidak meningkat. Syukur-syukur turun.
Kenaikan harga bahan bakar minyak juga akan mendorong dipercepatnya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama mengenai energi alternatif. Geothermal dan solar cell akan menjamur. Hybrid sudah datang, fuel cell menanti. Di masa depan, yang dijual bukan minyak, tapi hidrogen dan solar panel. Anak cucu gw ngga akan merasakan bagaimana rasanya mengisi bahan bakar di SPBU (Amin!).
Walalu mengorbankan hidup orang banyak, kemajuan ilmu pengetahuan sebenarnya tidak bisa menunggu demi pelestarian bumi dan isinya. Kemajuan ini sangat mutlak diperlukan. Jauh lebih mutlak dari pada kebutuhan manusia, bahkan yang paling dasar. Kenyataannya, sifat manusia yang tidak pernah puas telah merusak bumi ini. Gw rela melakukan genosida demi kelestarian bumi. Bahkan bila kematian gw bisa menyelamatkan bumi, gw rela melakukannya.
Tapi bila gw mati, siapa yang akan menyuarakan usaha penyelamatan bumi?
Tapi satu solusi tidak bisa diputuskan begitu saja, apalagi bila menimbulkan masalah lain. Tetap ada win-win solution.
Solusi pertama, benahi sistem perminyakan nasional. Sistem yang tidak tepat bisa menimbulkan inefisiensi biaya. Ngga heran deh subsidi meningkat. Sebaiknya Indonesia belajar dari Rusia.
Solusi kedua, negara harus mencari sumber dana lain, terutama dari sektor yang memakan minyak paling banyak dan yang berhubungan dengan itu, seperti meningkatkan pajak kendaraan bermotor, tarif parkir, dan tarif tol. Tapi peningkatan tarif tersebut khusus untuk kendaraan pribadi. Dengan cara ini, bukan tidak mungkin penggunaan bahan bakar minyak akan berkurang.
Solusi ketiga, masih berkaitan dengan yang kedua, terapkan diskriminasi harga pada bahan bakar minyak. Beri harga semahal-mahalnya pada pengguna kendaraan pribadi dan beri harga wajar untuk rakyat miskin yang benar-benar membutuhkan. Dengan begini, bukan tidak mungkin negara dapat mengambil keuntungan dari penjualan minyak.
Solusi keempat, kurangi konsumsi minyak! Ini mutlak diperlukan. Tapi mengurangi konsumsi bukan berarti harus mengorbankan hal lainnya. Pengurangan ini selain harus mendukung anggaran negara, juga harus sangat-sangat pro lingkungan. Konversi minyak ke batu bara tidak termasuk! Minyak ke solar panel, wajib!
Solusi kelima, tingkatkan pembinaan masyarakat terhadap kesadaran akan kerusakan lingkungan. Ini adalah cara yang paling ampuh. Percaya deh.
Jadi, sudah jelas alasannya mengapa harga minyak terus naik. Terus terang aja, harga minyak bisa turun, tapi Indonesia harus mengganti sistem ekonominya, konsumsi dalam negeri dikurangi, dan produksi dalam negeri ditingkatkan. Dan itu tidak bisa instant.
Yang membuat gw heran, kenapa para pendemo itu menolak harga minyak yang akan naik? Kalau kemahalan jangan beli. Gampang kan? Mereka adalah orang-orang yang mengharapkan kehancuran bangsa. Jika mereka benar-benar terpelajar, seharusnya mereka tahu. Bayangkan saja jika harga minyak tetap seperti itu, anggaran pendidikan dan santunan kesehatan untuk rakyat miskin tidak akan meningkat, bahkan bisa berkurang. Padahal jumlah penduduk terus meningkat. Jumlah penduduk meningkat, konsumsi meningkat, lalu subsidi meningkat, dan anggaran pendidikan dan santunan kesehatan untuk rakyat miskin akan berkurang jika seandainya pendapatan negara tidak meningkat. Dana pendidikan berkurang saja pendemo tetap protes. Apa yang tidak diprotes orang-orang itu?
Dan juga bukankah pemerintah sudah berbaik hati memberikan bantuan langsung tunai. Ada yang berpendapat bahwa sebaiknya bantuan tunai itu dipergunakan untuk program padat karya. Yang membuat orang yang berpendapat itu mengeluarkan pendapat demikian adalah bahwa pemerintah telah melakukan program padat karya sejak dulu dan masih dilakukan hingga sekarang hingga pengangguran tidak ada lagi. Lagipula tidak semudah itu membuat pabrik. Syarat utama suatu usaha adalah selain adanya sumber daya, juga harus ada pasar. Mencari pasar untuk produk tidak cukup mudah untuk dilakukan.
Ada alasan mengapa kita disebut Homo sapien. Itu adalah bahasa latin dari wisemen, manusia bijak. Tapi gw merasa julukan itu tidak berlaku lagi untuk beberapa orang.

Senin, 12 Mei 2008

Seribu Alasan Untuk Membenci Hujan

Mungkin gw akan dibenci petani karena menulis ini. Tapi satu hal yang gw tahu, petani tidak tinggal di kota besar. Sungguh hujan di kota besar adalah hal yang sangat menyebalkan. Andai gw bisa menghentikannya.
Gw punya seribu alasan untuk berharap seperti itu:
  • Hujan sangat mengganggu aktivitas gw, yang sebagian besar berada di luar rumah.
  • Suara hujan sangat berisik, apalagi kalau ada petir. Mengganggu jam belajar dan jam tidur gw.
  • Ketika hujan, seringkali suhu udara drop. Dingin!
  • Hujan membuat gw sakit. Flu sialan!
  • Ketika hujan, tegangan listrik seringkali naik turun. Gw masih belum menemukan hubungannya, tapi sudah terbukti terjadi.
  • Hujan membuat pemakaian listrik meningkat.
  • Hujan membuat kaktus tidak dapat tumbuh dengan baik. (Gw penggemar kaktus meski tidak mempunyai satupun. Hanya untuk meramaikan blog saja^^)
  • Banjir adalah alasan utamabeberapa orang. Gw juga tidak menyukai hal ini.
  • Longsor juga. Reporter televisi menjadi sibuk karena dua hal ini.
  • Jalan jadi becek gara-gara hujan.
  • Jemuran baju susah ering.
  • Hujan bisa menghentikan suatu usaha, secara langsung ataupun tidak.
  • Hujan membuat lapangan olahraga tidak bisa atau sulit digunakan. Setelah hujan pun lapangan belum tentu langsung kering. Hal ini mengganggu orang-orang yang gemar berolahraga.
  • Hujan membuat siaran televisi nge-blur.
  • Hujan membuat koneksi internet sedikit terhambat. Gw sering merasakannya.
Ngga sampai seribu, ya? Itu Cuma hiperbolic aja kok. Yang jelas sih itu sudah mencerminkan seberapa benci gw terhadap hujan yang seringkali turun di saat yang tidak tepat. Dan juga deras banget. Gw setuju aja sih adanya hujan di kota besar asalkan dengan dua syarat: Di saat yang tepat dan tidak deras. Tapi apa mungkin gw meminta seperti ini? Ini tidak seperti bicara kepada kepala sekolah dan meminta menurunkan nilai minimal kelulusan ujian sekolah.
Dan satu hal yang membuat gw paling membenci hujan di saat yang tidak tepat: pertanda global warming telah terjadi. Saat ini, di musim kemarau pun ngga hujan deras yang bisa membuat banjir kota besar dan longsor pedesaan. Wew, gw sudah menyebut tiga contoh efek kerusakan atmosfer yang berkaitan satu sama lain.

Pendidikan

Hardiknas sudah lewat. Memikirkan pendidikan, membuat gw teringat bahwa ini adalah suatu hak azasi manusia yang tidak semua orang bisa mencapainya. Menjadi cerdas memang suatu perjuangan berat, tapi ini tidak melulu mengenai uang.
Menjadi cerdas memang hak azasi manusia. Setiap manusia mempunyai hak untuk mengetahui dan mendapatkan informasi. Setiap manusia punya hak untuk memahami dunia ini agar selamat dalam menjalani kehidupan. Sayangnya hal yang menjadi inti dalam masyarakat ini menjadi “komoditas” yang tidak semua orang dapat mencapainya, meskipun juga tidak bisa kita dapatkan dengan jalan pintas. Banyak penyebabnya.
Dari awal sampai akhir jenjang pendidikan, uang adalah masalah pertama yang ditemukan. Tapi itu bisa diatasi dengan adanya beasiswa asalkan berprestasi. Siswa yang berprestasi memang diuntungkan dalam banyak hal, tapi siswa yang mempunyai banyak uang lebih banyak memiliki kemudahan itu. Tapi tetap saja, seharusnya pendidikan tanpa biaya. Seperti udara, perlukah kita membayar untuk menghirupnya? Ki Hajar Dewantara pun akan menangis melihat hal ini.
Selain itu, menjadi cerdas juga membutuhkan perjuangan keras, determinasi, komitmen, dan kerja keras. Tidak boleh berpaling sedikitpun. Lihat saja siswa yang menangis pasca ujian nasional dan masih mencemaskan hasilnya atau yang memprotes ujian tersebut. Jujur saja, kenyataan yang gw lihat, siswa SMA zaman sekarang lebih banyak bersenang-senang. Bila ini terjadi, bimbingan belajar (bimbel) jalan akhirnya.
Ngomongin soal bimbel, sepertinya ini adalah suatu bisnis yang mengiurkan, sekaligus sebagai bukti bahwa pendidikan memang suatu komoditas. Hanya siswa yang memiliki uang yang bisa mengaksesnya. Seharusnya semua manusia memiliki persamaan dalam menempuh pendidikan.
Bisnis ini memanfaatkan ketakutan siswa dalam melanjutkan pendidikan dan keinginan mereka untuk mendapatkan teman. Sayangnya, sejauh yang gw lihat, hanya setengah siswa yang serius menjalani bimbel.
Di jalanan sedang ramai-ramainya bimbel yang bertujuan agar siswa lulus Ujian Nasional dan SPMB. Ini lucu banget menurut gw, seolah seluruh pengetahuan yang kita dapatkan di bimbel itu hanya untuk dua hal itu, bukan untuk selamanya. Dan juga ini sebagai bukti bahwa lulus Ujian Nasional dan SPMB hanya untuk siswa yang memiliki uang. Dibandingkan biaya sekolah, bimbel jelas lebih mahal sehingga tidak banyak siswa dapat menjangkaunya.
Tapi kenyataannya bimbel itu tidak penting karena semua ilmu pasti sudah dipelajari di sekolah. Ngga logis banget bila mereka lebih mengerti pelajaran dari bimbel.
Tapi gw mendukung keberadaan bimbel yang lebih spesifik seperti Bahasa Inggris, komputer, atau menyetir. Biasanya sih disebut kursus, tapi suasananya tidak jauh beda. Lagipula, ilmu yang didapat sudah pasti untuk selamanya.
Pendidikan adalah hak masyarakat, inti masyarakat, kebutuhan masyarakat agar kita mampu menjalani kehidupan. Bayangkan saja jika semua orang di dunia ini cerdas, the perfect world will come. Tapi hal itu akan memakan waktu lama. Apalagi dengan anggapan bahwa tidak akan ada orang cerdas tanpa adanya orang bodoh, seolah keduanya harus ada untuk dibanding-bandingkan.