Gw tahu gw belum cukup umur untuk mengatakan pendapat gw mengenai ini. Dan mungkin yang gw tahu tentang ini belum cukup. Dan gw tidak tinggal di tengah kesibukan atau sekolah di sana. Tapi hal ini cukup menginspirasikan gw dan cukup membuat gw tak sabar untuk menjadi lebih dewasa dari sekarang. Saat ini gw excited banget mengenai ini, tapi itu karena gw belum mengalaminya. Sebenarnya sih sudah, dan gw langsung kesal itu. Dan setelah hari itu berakhir, gw menjadi merindukannya.
Pengalaman pertama gw mengenai rush hour yaitu ketika gw harus ke suatu sekolah swasta terkenal di Jakarta Selatan dengan urusan mengikuti suatu kompetisi dengan membawa nama sekolah. Jadi bisa dikatakan bahwa pengalaman pertama gw itu terjadi secara tidak sengaja.
Ketika itu gw pergi dengan menggunakan Busway. Dan, tebak berapa jam gw berada di jalur busway hanya untuk mencapai sekolah swasta itu? Dua setengah jam! Yang membuat lama adalah halte transitnya, terutama di Kp Melayu dan Matraman. Di Dukuh Atas tidak terlalu karena gw melawan arus rush hour yang rata-rata menuju ke pusat kota Jakarta. Bisa ditebak gw pergi ke sekolah swasta mana. By the way, di dua halte transit itu gw harus mengantri selama setengah jam di masing-masing halte untuk mendapatkan sebuah bus. Itupun dalam keadaan penuh sesak. Dan gw ngga pernah duduk sampai tujuan.
Untuk beberapa orang, rush hour di fasilitas kendaraan umum memang menyebalkan. Tapi buat gw itu pertanda positif untuk satu hal: penggunaan kendaraan bermotor berkurang. Padahal gw sempat melihat beberapa para penumpang bus lain, ‘partner sehati’ yang ketika itu berbagi bus dengan gw, terlihat bonafid. Besar kemungkinan mereka punya kendaraan pribadi. Syukur deh bila mereka sadar bahwa kendaraan pribadi membawa polusi.
Macet di jalan raya? Fuck with them, that’s what I say to the car owners. Fakta: pengguna kendaraan pribadi adalah penyebab utama kemacetan, bukan kendaraan umum. Ketika car free day, Jalan MH Thamrin bebas macet karena kendaraan pribadi dilarang lewat. Bahkan bisa dibilang sepi.
Pengalaman pertama gw mengenai rush hour yaitu ketika gw harus ke suatu sekolah swasta terkenal di Jakarta Selatan dengan urusan mengikuti suatu kompetisi dengan membawa nama sekolah. Jadi bisa dikatakan bahwa pengalaman pertama gw itu terjadi secara tidak sengaja.
Ketika itu gw pergi dengan menggunakan Busway. Dan, tebak berapa jam gw berada di jalur busway hanya untuk mencapai sekolah swasta itu? Dua setengah jam! Yang membuat lama adalah halte transitnya, terutama di Kp Melayu dan Matraman. Di Dukuh Atas tidak terlalu karena gw melawan arus rush hour yang rata-rata menuju ke pusat kota Jakarta. Bisa ditebak gw pergi ke sekolah swasta mana. By the way, di dua halte transit itu gw harus mengantri selama setengah jam di masing-masing halte untuk mendapatkan sebuah bus. Itupun dalam keadaan penuh sesak. Dan gw ngga pernah duduk sampai tujuan.
Untuk beberapa orang, rush hour di fasilitas kendaraan umum memang menyebalkan. Tapi buat gw itu pertanda positif untuk satu hal: penggunaan kendaraan bermotor berkurang. Padahal gw sempat melihat beberapa para penumpang bus lain, ‘partner sehati’ yang ketika itu berbagi bus dengan gw, terlihat bonafid. Besar kemungkinan mereka punya kendaraan pribadi. Syukur deh bila mereka sadar bahwa kendaraan pribadi membawa polusi.
Macet di jalan raya? Fuck with them, that’s what I say to the car owners. Fakta: pengguna kendaraan pribadi adalah penyebab utama kemacetan, bukan kendaraan umum. Ketika car free day, Jalan MH Thamrin bebas macet karena kendaraan pribadi dilarang lewat. Bahkan bisa dibilang sepi.