Sebelum muncul peradaban manusia, ekosistem di seluruh permukaan bumi berjalan self-sustaining, temasuk dalam pengolahan limbah. Semua limbah yang dihasilkan oleh alam adalah limbah organik yang biodegradable dan diolah oleh alam itu sendiri menjadi sesuatu yang menguntungkan baginya. Jadi, alam melakukan siklus secara terus menerus dengan bahan organiknya, siklus melingkar yang di satu titik merupakan sampah dan di titik yang berlawanan adalah hasil pengolahan limbah yang sudah menjadi bagian yang menyatu sempurna dengan alam.
Peradaban manusia pun datang. Sejak awal, manusia memang tidak ada niat untuk mengolah sampahnya. Ini tentu saja karena peradaban kuno tidak menggunakan logam terlalu banyak, dan belum ada plastik dan kaca. Jika ada logam yang tak terpakai pun, mereka akan memakai atau meleburnya kembali karena mendapatkan logam adalah hal yang sulit. Sampah yang mereka buang umumnya adalah sampah organik yang membutuhkan waktu singkat bagi alam untuk mengurainya.
Kini, di peradaban modern, sampah plastik, kaca, dan logam bertumpuk di mana-mana. Sedikit sekali kesadaran manusia untuk mengurangi, memakai kembali, ataupun mendaur ulang dengan berbagai jenis alasan. Alasan yang muncul dari keengganan menguranginya adalah karena kebutuhan. Alasan yang sebenarnya adalah, manusia tidak pernah puas dan selalu ingin lebih meski sebenarnya telah tercukupi.
Alasan yang muncul dari keengganan menggunakan kembali sampah plastik, logam, dan kaca adalah karena kesehatan dan kepraktisan. Alasan pertama bisa dimaklumi, tapi alasan kedua tidak. Manusia diberkahi otak untuk erpikir. Jika tidak dipakai, jangan pernah mengaku manusia. Masalah praktis atau tidaknya penggunaan sampah plastik, kaca, dan logam itu harus dipikirkan oleh manusia itu sendiri, juga mengenai dampaknya jika tidak dilakukan.
Alasan keengganan mendaur ulang dalah karena kurang menguntungkan secara ekonomi. Ini alasan yang sangat tidak dimaafkan, karena uang sejak awal adalah sumber masalah dari menumpuknya sampah plastik, kaca, dan logam dan kini menjadi alasan untuk enggan mendaur ulang. Industri berbasis plastik, kaca, dan logam memperoleh keuntungan yang cukup tinggi karena masyarakat banyak yang membelinya.
Jika alam membuat siklus di mana sampah berada di satu titik dan selalu kembali menjadi bahan yang berguna, manusia justru hanya membuat satu garis arah, di mana titik awalnya adalah barang yang berguna dan di titik akhirnya adalah sampah yang oleh manusia dianggap tidak berguna. Garis itu pun cukup pendek. Sebagai contoh, plastik pembungkus makanan. Satu detik dibuat, dua puluh menit pemakaian, dua ratus tahun penguraian oleh alam. Apakah kita harus menunggu hingga dua ratus tahun, sementara plastik sangat mudah sekali dibuat seolah tidak ada habisnya. Ini adalah salah satu bentuk keegoisan manusia.
Manusia seolah membuat kehidupannya sendiri yang terpisah oleh alam. Keegoisan manusia menunjukkan hal itu. Secara akal sehat, hal itu tidak mungkin karena faktanya semua hal yang membuat kita hidup berasal dari alam, bahan udara yang kita hirup. Kita tidak bisa membuat oksigen sendiri, kita tidak bisa menduplikasi sepenuhnya apa yang alam bisa perbuat. Yang kita lakukan adalah mengekspoitasi alam dan merusaknya tanpa ada usaha untuk memperbaikinya.
Jika alam mampu mengungkapkan perasaannya, ia tentu saja akan mengatakan manusia adalah seburuk-buruknya sampah yang bahkan tak ingin dilihat atau disentuh.
Peradaban manusia pun datang. Sejak awal, manusia memang tidak ada niat untuk mengolah sampahnya. Ini tentu saja karena peradaban kuno tidak menggunakan logam terlalu banyak, dan belum ada plastik dan kaca. Jika ada logam yang tak terpakai pun, mereka akan memakai atau meleburnya kembali karena mendapatkan logam adalah hal yang sulit. Sampah yang mereka buang umumnya adalah sampah organik yang membutuhkan waktu singkat bagi alam untuk mengurainya.
Kini, di peradaban modern, sampah plastik, kaca, dan logam bertumpuk di mana-mana. Sedikit sekali kesadaran manusia untuk mengurangi, memakai kembali, ataupun mendaur ulang dengan berbagai jenis alasan. Alasan yang muncul dari keengganan menguranginya adalah karena kebutuhan. Alasan yang sebenarnya adalah, manusia tidak pernah puas dan selalu ingin lebih meski sebenarnya telah tercukupi.
Alasan yang muncul dari keengganan menggunakan kembali sampah plastik, logam, dan kaca adalah karena kesehatan dan kepraktisan. Alasan pertama bisa dimaklumi, tapi alasan kedua tidak. Manusia diberkahi otak untuk erpikir. Jika tidak dipakai, jangan pernah mengaku manusia. Masalah praktis atau tidaknya penggunaan sampah plastik, kaca, dan logam itu harus dipikirkan oleh manusia itu sendiri, juga mengenai dampaknya jika tidak dilakukan.
Alasan keengganan mendaur ulang dalah karena kurang menguntungkan secara ekonomi. Ini alasan yang sangat tidak dimaafkan, karena uang sejak awal adalah sumber masalah dari menumpuknya sampah plastik, kaca, dan logam dan kini menjadi alasan untuk enggan mendaur ulang. Industri berbasis plastik, kaca, dan logam memperoleh keuntungan yang cukup tinggi karena masyarakat banyak yang membelinya.
Jika alam membuat siklus di mana sampah berada di satu titik dan selalu kembali menjadi bahan yang berguna, manusia justru hanya membuat satu garis arah, di mana titik awalnya adalah barang yang berguna dan di titik akhirnya adalah sampah yang oleh manusia dianggap tidak berguna. Garis itu pun cukup pendek. Sebagai contoh, plastik pembungkus makanan. Satu detik dibuat, dua puluh menit pemakaian, dua ratus tahun penguraian oleh alam. Apakah kita harus menunggu hingga dua ratus tahun, sementara plastik sangat mudah sekali dibuat seolah tidak ada habisnya. Ini adalah salah satu bentuk keegoisan manusia.
Manusia seolah membuat kehidupannya sendiri yang terpisah oleh alam. Keegoisan manusia menunjukkan hal itu. Secara akal sehat, hal itu tidak mungkin karena faktanya semua hal yang membuat kita hidup berasal dari alam, bahan udara yang kita hirup. Kita tidak bisa membuat oksigen sendiri, kita tidak bisa menduplikasi sepenuhnya apa yang alam bisa perbuat. Yang kita lakukan adalah mengekspoitasi alam dan merusaknya tanpa ada usaha untuk memperbaikinya.
Jika alam mampu mengungkapkan perasaannya, ia tentu saja akan mengatakan manusia adalah seburuk-buruknya sampah yang bahkan tak ingin dilihat atau disentuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar